check it out..
Sudah sembilan bulan lebih aku menanti, mungkin inilah saatnya. Pagi itu, ibuku, beserta ayah pergi ke rumah sakit untuk memeriksa calon bayi yang dikandung ibu. Wajah ibu begitu berseri-seri saat dokter mengatakan bahwa sekitar satu atau dua hari lagi ibu dapat melahirkan bayinya. Ayah pun telihat begitu bahagia, seakan tak ada yang lebih indah selain kelahiran sang buah hati.
“Ayah, kalau nanti anak kita lahir, ayah mau kasih nama apa?” kata ibu sepulang dari rumah sakit.
“Husein, anak Fatimah putri Rasulullah , ibu para syuhada. Seperti ibu.” jawab ayah singkat.
“Semoga Husein dapat menjadi sebaik ayahnya, dan menjadi mujahid seperti Husein bin Ali.”tambah ibu.
“Aamiin”
Sore itu begitu indah, seperti biasa ibu dan ayah selalu membawaku menikmati indahnya matahari di tepi pantai Losari. Ya, disini kami tinggal, di sebuah kota dengan pantainya yang indah, Makasar. Betapa aku ingin segera dapat hadir disana, bermain-main dengan pasir putihnya, berkilauan bagai emas dikala temaram senja.
Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti malam dan kembali pagi lagi, begitu seterusnya. Aku benar-benar sudah bosan menunggu disini. Sampai kapan aku terus disini, ditempat kecil, gelap, yang hanya cukup untuk diriku seorang. Aku ingin sesegera mungkin keluar dari sini, aku ingin memeluk ibuku yang selalu menceritakan kisah-kisah para syuhada. Aku ingin melihat dunia, yang kata ibuku penuh dengan warna-warni yang indah, yang kata ayahku penuh dengan keindahan ciptaan-Nya. Aku terus menendang-nendang ruang kecil ini, kulihat ibuku merintih kesakitan. Maafkan aku ibu, tapi aku benar-benar ingin keluar dari sini. Kulihat ibu dengan susah payah meraih telepon genggam nya dan menghubungi ayah. Ayah yang kepanikannya tidak dapat disembunyikan datang dengan tergesa-gesa. Menggendong ibu ke mobil, dan segera meraih tas besar yang telah disiapkan ibu jauh hari sebelumnya.
Ibu masih saja merintih kesakitan, akibat tendanganku tadi, tapi sekarang aku sudah cukup bisa menahan untuk tidak menendang-nendang perut bagian dalam ibuku lagi. Maafkan aku ibu, aku mencintaimu lebih dari segalanya.
Hanya butuh lima belas menit untuk tiba di rumah sakit bersalin, ayah dengan tergesa-gesa memapah ibu keluar mobil dan segera mencari pertolongan. Sekarang ibu sudah berada diruang bersalin. Dokter yang selau memeriksa ibuku datang memeriksa.
“Sepertinya ibu akan segera melahirkan”, kata sang dokter.
Bahagianya aku mendengar perkataan sang dokter, bayangkan sebentar lagi aku akan melihat dunia, memeluk ibuku, mendengar kumandang azan pertama dari ayahku.
“Bagaimana keadaan istri saya bu dokter?”, kali ini suara ayahku yang terdengar.
“Ibu Fatimah baik-baik saja, tadi itu hanya sakit biasa, tapi saya menyarankan agar istri bapak tetap tinggal disini sampai ia melahirkan.” Jawab dokter.
Ayah kembali kepada ibu, mengelus kepalanya dan mengecup keningnya. Mencoba menenangkan ibu, yang sejatinya ayah tampak lebih cemas ketimbang ibu. Anak pertama berarti segalanya. Aku mengerti perasaanmu ayah. Kelak aku juga akan menjadi ayah sepertimu, aku akan mencintai ibu dari mujahid kecilku seperti kau mencintai ibuku, bahkan lebih. Aku mencintaimu ayah.. tanpa syarat.
Mentari kembali keperaduannya, ayah yang setia disamping ibu. Memandang ibu dengan lembut, sungguh membuatku terkesima dengan pesonanya.
Kondisi ibu kian melemah, tak kunjung membaik. Ibuku tak dapat merasakan melahirkan dengan normal, beliau terpaksa dioperasi. Ibu rela mengorbankan segalanya demi aku. Ba’da subuh, ibu dibawa keruangan operasi, kalau tidak segera dioperasi, maka tidak akan ada nyawa yang mungkin bisa diselamatkan. Begitu ujar dokter ahli kandungan yang menangani ibu.
*bener2 gak tau mw bikin ending yg gmna.. inilah dia karya ku 4 tahun yang lalu.. so simple :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar